Monday, April 20, 2009

Rondo Ala Turca 2

Berapa hari berlalu, aku sibuk latihan, latihan, dan latihan. Dan pada suatu hari, aku mendapat surat dari tempat kursus musikku bahwa aku dipanggil menjadi salah satu utusan dari tempat kursusku, untuk mengikuti suatu konser. Keluargaku sih mendukung, dan aku juga mau.

Menurut informasi yang telah kudapat, konser akan diadakan di Jakarta Hall Convention Center, alias JHCC. Dan anak kelas piano yang dipilih hanya aku, sedangkan dari kelas biola dan ada 1 anak. Laki-laki namanya Theo Ardipradja. Huh, nanggung amat sih, nama depan udah keren gitu, nama belakangnya ARDIPRADJA, Indonesia banget sih! Gerutuku dalam hati saat mendengar nama itu.
Eh, eh... Wait a minute.Theo? Anak kelas biola? Jangan-jangan Theo yang waktu itu diajar Kak Yasser? Yang waktu itu kuintip kelasnya? Tapi BOMAT deh, nggak kenal ini. Latihan dulu aja deh mendingan.

Aku melantunkan nada-nada lagu Rondo Ala Turca, mencoba menghayati setiap dentingan nada-nadanya. Setelah selesai aku mencoba memperbaiki bagian-bagian yang salah, lalu memainkannya dari awal. Lagu Rondo Ala Turca ini memang susah, jari-jarinya harus bergerak dengan cepat dan tepat. Tapi aku mencoba menikmatinya. Dari semua lagu yang pernah kumainkan, salah satu lagu yang kusuka adalah Rondo Ala Turca. Yah, walaupun lebih suka lagu Swan Lake sih, tapi dua-duanya keren.

"Thea...!! Ayo makan dulu!" Panggil Mama. Aku menutup buku musikku, lalu berjalan ke ruang makan. Harumnya sup ayam khas Mama menggelitik perutku yang sejak tadi sudah lapar.
Aku menarik kursi disamping Kakakku, Kak Nadin. Kak Nadin juga ikut konser, tapi menampilkan piano solo. Kelasnya beda denganku, tapi konsernya sama, di JHCC. Ia akan membawakan lagu Symphony 40.
Aku mengambil piring, sendok dan garpu, lalu mengambil nasi, sup ayamnya (banyak), lalu sedikit kerupuk. Aku memakannya dengan lahap.

********************

Aku sudah selesai makan, sekarang aku berlatih lagi. Kan malu-maluin kalau misalnya dipanggung salah mencet tutsnya?


Monday, April 06, 2009

Rondo Ala Turca I

  Aku sibuk memainkan jari-jari tanganku di tuts piano. Lagu Rondo Ala Turca. Aku sedang ada di tempat les musikku, berlatih sambil menunggu guruku datang untuk mengambil nilaiku. Guru pianoku namanya Bu Rona, dia masih 23 tahun, masih tergolong muda menurutku.

  Oh ya, namaku Thea, lengkapnya Giska Althea. Aku lebih memilih dipanggil Thea daripada Giska. Lebih simple, ringkas lagi. Hobiku main piano sama balet. Tapi lebih suka piano, kalo balet cuma buat belajar aja. Aku juga suka nyanyi, melukis sama baca.

KRIEEETT!!

Pintu ruang kelas pianoku berbunyi. Bu Rona masuk. Aku segera bersiap-siap. Bu Rona mengambil buku musik seperti yang kupunya lalu membuka halaman lagu Rondo Ala Turca. Setelah dia menemukannya, ia langsung mengangguk. Aku mengambil nafas dalam-dalam, dan aku memainkan lagu itu sambil mencoba menghayatinya. Setelah selesai, aku langsung menatap Bu Rona. Beliau kelihatan menggut-manggut.

   "Bagus Thea. Coba latihan satu kali lagi ya! Kamu cuma salah dibagian sini," Kata Bu Rona sambil menunjukkan kesalahanku. Aku hanya mengangguk. Setelah Bu Rona keluar dan mengajar kelas sebelah (aku semi-privat), aku iseng-iseng keluar ruangan. Suara piano dari kelas yang sedang diajar Bu Rona sekarang mulai terdengar, berarti Bu Rona sudah mulai mengajar.

    Tiba-tiba, aku mendengar lantunan nada-nada biola. Aku mengenal lagu yang sedang dimainkan itu. Itu Rondo Ala Turca, PR musikku selama 2 minggu ini. Aku mencoba mengintip lewat kaca kecil di pintu ruangan itu. Tampak seorang anak laki-laki sedang menggesek biolanya, dan satu laki-laki dewasa. Laki-laki dewasa itu gurunya, namanya Kak Yasser.

    "Bagus Theo!" Kata Kak Yasser. Kok namanya hampir sama kayak aku? Aku Thea, anak itu Theo. Aku kembali mencoba mencuri dengar.

     "Kamu latihan lagu ini terus ya, nanti kalau memang bagus, kamu bakal duet sama anak kelas piano, namanya Thea," Kata Kak Yasser lagi. Lho, Thea kan aku! Anak kelas piano yang namanya Thea cuma aku! Aku langsung berlari ke kelasku. Dan ketika aku membuka pintu, Bu Rona keluar dari kelas sebelah.

     "Darimana Thea?" Tanyanya. Aku memikirkan kejadian yang tadi.

     "Toilet, Bu." Jawabku tenang.

Friday, April 03, 2009

Perpisahan Selamanya 4 (tamat)

   "Zilfa!" Teriakku pilu. Mama dan Papa langsung memelukku. Tante Fira lemas, lalu pingsan. Oom Ardian (Papa Zilfa, aku baru ingat namanya) tampak shock berat, terpukul.Maklum, Zilfa kan anak semata wayang.

    Air mataku mengalir deras. Meratapi kepergian sahabatku. Ketika Dokter sudah mempersilakan kami untuk melihat Zilfa untuk terakhir kalinya, aku dituntun oleh Papaku, karena kakiku masih gemetar hebat, sehingga agak susah berjalan.

    Aku masih benar-benar tidak percaya bahwa seseorang yang ditutupi kain putih didepanku adalah seorang Zilfa. Baru tadi ia tertawa bersamaku, baru tadi ia meminta dibuatkan blog, baru sebentar aku memegang tangannya... Sekarang dia telah pergi, Zilfa telah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa dalam usia yang sangat muda. 

*********************

    Aku mengelus batu nisan yang bertuliskan:

   Zilfa Annabila Putri, 4 Februari 1997-19 Agustus 2008

   Aku masih tidak percaya, bahwa Zilfa, Zilfa sahabatku, sahabatku yang selalu menemaniku dalam suka maupun duka, sudah menyatu dengan bumi yang kupijak saat ini. Mataku mulai terasa panas lagi. Setelah mengusap-usap nisan Zilfa beberapa kali, aku beranjak pergi. Ketika aku sudah berjalan beberapa langkah, ada angin menerpaku. Aku hanya memejamkan mata sebentar, lalu ketika aku membuka mata, aku melihat bayangan Zilfa.

   "Karin..." Katanya. Apa ini nyata?

   "Zilfa..?" Tanyanya. Ia tersenyum senang. Senyum khas Zilfa.

   "Karin... Aku cuma mau bilang, jangan sedih terus ya, waktu aku nggak ada! Oh ya, kamu nggak usah nepatin janji kamu yang waktu itu! OK?" Kata Zilfa.

    Aku tersenyum simpul. "OK!" Kataku. Zilfa tersenyum senang, lalu bayang-bayangnya mulai menghilang perlahan...

    Dadah, Zilfa! Aku nggak bakal pernah ngelupain kamu!