Sunday, June 14, 2009

Pink Dress

Trisha memandang heran sebuah kotak besar berhiaskan pita ungu muda yang diberikan Mbok Narti. Katanya dititipkan oleh seorang laki-laki.
"Nggak tahu, Non! Dia pakai topi sama kacamata hitam," kata Mbok Narti. Trisha membuka amplop kecil yang diselipkan di bagian atas pita.

Ini hadiah untukmu. Happy birthday Dearest Trisha!
From Ur Secret Admire

Begitu isi surat itu. Trisha tambah heran. Ulang tahun? Rasanya terlalu cepat. Ulang tahunnya masih tiga hari lagi! Setelah menimbang-nimbang, Trisha mencoba membuka kotak itu. Ia melakukannya pelan-pelan dan hati-hati. Rasa berdebar dan deg-degan menyertainya.
Tidak disangka, isinya adalah gaun warna pink terlipat rapi didalamnya. Ada catatan tertera di atas gaun itu.
"Dress? Siapa yang ngirim ginian ke aku?" Tanya Trisha dalam hati. Ia mengambil dress-nya itu dan membentangkannya. Dress itu warna pink, sepanjang mata kaki, lengkap dengan hiasan bunga di sebelah kanan pinggang. Ada sebuah bando pink lucu tersembunyi di bawah dress itu.
"Aneh deh! Tapi dress ini sweet banget... Kebetulan aku belom ada dress buat acara ultah nanti!" Gumam Trisha mengagumi dress itu. Setelah menaruh dress itu di kasur, ia mengambil catatan yang tadinya ada di atas dress-nya.

Dearest Trisha,
Kalo kamu mau tau siapa yang ngasih dress ini,
cari tau di pesta kamu nanti. I'll be right there
waiting for you.
Ur Secret Admire

Trisha yang sudah happy, gara-gara membaca kertas itu kembali bingung. Ia terus berpikir keras sampai pesta ulang tahunnya tiba. Ia masih penasaran siapa yang mengirim dress itu. Tetapi ia tetap memakainya di pesta.
Teman-temannya memuji dress yang dipakai Trisha. Apalagi teman se-ganknya, Jenisa, Tiwi, Arintha dan Beatrice.Trisha hanya mengulum senyum misterius mendengar segala komentar dan pujian mereka.
Tiba-tiba Farel, cowok pujaan hati Trisa=ha menepuk pundak Tridha sambil memuji betapa cantiknya ia malam itu. Trisha yang sama sekali tidak menduga serasa terbang menembus tujuh lapis langit menuju surga. Ia menduga bahwa Farel-lah yang memberinya dress itu.
Setelah acara ini-itu selesai, tiba saatnya acara dansa. Trisha langsung mengajak Farel sebagai pasangan dansanya. Farel tidak menolak. Semua yang datang di pesta itu berdansa, kecuali Vincent, sahabat Trisha. Ia sibuk merekam moment indah Trisha dengan handycam.
Saat berdansa, Trisha mencoba memberanikan diri bertanya.
"Rel, kamu ya, yang ngasih dress ini ke aku? Makasih, ya! Sweet banget!" tembak Trisha langsung. Farel tampak kebingungan.
"Hah? Nggak! Aku nggak ngasih kamu dress!" Katanya. Trisha jadi bingung sendiri. Lalu tertangkap dalam pandangannya, sosok Vincent yang enggan meng-shoot Trisha sejak tadi. Bagai tersengat listrik Trisha langsung sadar.
"O-ooh, gitu ya... Eehm, sori ya! Aku... Kesana dulu!" Kata Trisha meninggalkan Farel dan menuju Vincent.
"Vinct!" Panggil Trisha. Vincent menoleh sebentar.
"Ya?"
"Kamu ya yang kasih dress ini ke aku?"
Vincent diam sejenak.
"Hmmph," katanya mengangguk.
"Jadi kamu secret admire aku?" Kata Trisha tanpa tedeng aling-aling.
"Ya," jawab Vincent malu.
"aku nggak bilang karena takut. nanti kalo aku bilang kita..." Kata Vincent.
"Nggak jadi sahabat lagi?"
vincent mengangguk malu.
"Kamu nih..."
"Yah habis kan..."
"shut up and dance with me!" Kata Trisha sambil menarik tangan Vincent ke lantai dansa. Mereka pun berdansa dengan mesra...


The End.......................

Wednesday, June 03, 2009

Rondo Ala Turca 3

Hari-hari menuju pementasan sudah dekat, aku semakin rajin berlatih. Aku sudah tidak banyak salah, tetapi aku tetap saja berlatih dengan giat, sampai-sampai tanganku merah-merah. Tetapi aku berusaha mengacuhkannya. Aku tidak mau malu di depan Theo dan semua penonton, juga semua yang mengharapkanku.

Hari ini, aku gladiresik di JHCC. Aku disuruh memainkan Rondo Ala Turca di panggung bersama seorang anak laki-laki. Pertama aku dan dia hanya diam seribu bahasa. Lalu tak lama, dia menuju ke arahku sambil mengajak berkenalan.
"Aku Theo," Katanya.
"Aku Thea," Balasku sambil tersenyum. Ia balas tersenyum, lalu kami mengobrol. Theo anaknya asyik juga. Kami nyambung. Kami sama-sama suka Beethoven, dan Rondo Ala Turca. Kami sedang mengobrol tentang Swan Lake saat Kak Yasser memanggil kami untuk berlatih.
Latihannya sukses dan berhasil bagus sekali. Kami diperbolehkan pulang. Di tempat parkir aku melihat Theo dijemput oleh laki-laki kurus yang tinggi. Mukanya mirip dengan Theo. Ayahnya mungkin? Ah, terlalu muda. Mungkin kakaknya.
Aah, lebih baik aku tidur saja di mobil. Aku capai sekali!

* * *

Akhirnya, hari pementasan datang juga. Aku memakai long dress biru muda yang anggun sekali. Dan rambutku digerai. Aku memakai sepatu berhak tiga centi. Theo memakai pakaian model tuxedo hitam.
"Thea, kamu tegang nggak?" Tanyanya.
"Mmm..." Gumamku. Pasti tegang, lah! Penontonnya saja banyak banget. Gimana kalau salah menekan tuts piano? Gimana kalau lupa nadanya bagaimana?
"Aku tegang banget nih!" Kata Theo lagi, mukanya memerah bersemangat. Huh, dia kok bisa sih, kayak gitu? Aku saja merasa tidak mampu tersenyum lagi. Aku merasa ujung rambutku bergetar saking tegangnya. Aku mencoba menepis rasa tegang itu.
"Ya, sekarang kami persembahkan kolaborasi biola dan piano dengan lagu Rondo Ala Turca. Kami persilahkan, piano oleh Giska Althea dan Theo Ardipradja kelas biola!" Kata MC, mempersilahkan kami maju kepanggung. Aku dan Theo saling mengangguk dan maju ke panggung bersama.

PLOK PLOK PLOK PLOK!!!!
Suara tepukan tangan penonton terdengar menggemuruh di Hall C, Jakarta Hall Convention Center. Rasanya aku makin grogi. Tetapi setelah berdoa berkali-kali dalam hati, aku merasa bisa. Aku dan Theo berpandangan, tersenyum dan mengangguk, lalu mulai memainkan lagu Rondo Ala Turca.
Alhamdulillah aku dapat memainkannya dengan baik. Kulihat Theo agak gemetar dan grogi, jadi kucoba tersenyum kepadanya. Beruntung ia melihat tindakan support dariku, jadi aku bisa kembali berkonsentrasi pada permainanku.
Singkatnya, kami berhasil memainkan Rondo Ala Turca dengan baik. Kami penampilan terakhir, jadi setelah selesai, kami disuruh untuk tidak turun dari panggung. Beberapa orang melempar setangkai mawar ke panggung. Theo memungut dan mengumpulkannya, dan memberikannya pada Bu Rona.
"Ya... Semua pelaku pertunjukan harap naik ke panggung," Kata MC. Semua pelaku pertunjukan pun naik, termasuk Kakakku, Kak Nadin.
"Kami akan memberikan sebuah piala Best Performance," Kata MC. Kak Yasser, Bu Rona dan beberapa guru lainnya naik ke panggung membawa piala perak yang sedang.
"Dan yang berhak membawa pulang piala ini adalah..."
Aku tahu, pasti bukan aku.
"GISKA ALTHEA!!!" Teriak MC. Sekali lagi terdengar riuh tepuk tangan para penonton. Aku spontan langsung menutup mulutku. Sedangkan yang lain menepuk dan mendorongku agar maju ke depan.
"Thea! Kamu menang! Best Performance!" Seru Theo sambil meninju udara. Aku menerima piala itu. Seorang penonton menyerahkan satu buket bunga mawar merah kepadaku, yang kuterima dengan senang hati.

Aku menang... Penampilan Terbaik!!!

Monday, April 20, 2009

Rondo Ala Turca 2

Berapa hari berlalu, aku sibuk latihan, latihan, dan latihan. Dan pada suatu hari, aku mendapat surat dari tempat kursus musikku bahwa aku dipanggil menjadi salah satu utusan dari tempat kursusku, untuk mengikuti suatu konser. Keluargaku sih mendukung, dan aku juga mau.

Menurut informasi yang telah kudapat, konser akan diadakan di Jakarta Hall Convention Center, alias JHCC. Dan anak kelas piano yang dipilih hanya aku, sedangkan dari kelas biola dan ada 1 anak. Laki-laki namanya Theo Ardipradja. Huh, nanggung amat sih, nama depan udah keren gitu, nama belakangnya ARDIPRADJA, Indonesia banget sih! Gerutuku dalam hati saat mendengar nama itu.
Eh, eh... Wait a minute.Theo? Anak kelas biola? Jangan-jangan Theo yang waktu itu diajar Kak Yasser? Yang waktu itu kuintip kelasnya? Tapi BOMAT deh, nggak kenal ini. Latihan dulu aja deh mendingan.

Aku melantunkan nada-nada lagu Rondo Ala Turca, mencoba menghayati setiap dentingan nada-nadanya. Setelah selesai aku mencoba memperbaiki bagian-bagian yang salah, lalu memainkannya dari awal. Lagu Rondo Ala Turca ini memang susah, jari-jarinya harus bergerak dengan cepat dan tepat. Tapi aku mencoba menikmatinya. Dari semua lagu yang pernah kumainkan, salah satu lagu yang kusuka adalah Rondo Ala Turca. Yah, walaupun lebih suka lagu Swan Lake sih, tapi dua-duanya keren.

"Thea...!! Ayo makan dulu!" Panggil Mama. Aku menutup buku musikku, lalu berjalan ke ruang makan. Harumnya sup ayam khas Mama menggelitik perutku yang sejak tadi sudah lapar.
Aku menarik kursi disamping Kakakku, Kak Nadin. Kak Nadin juga ikut konser, tapi menampilkan piano solo. Kelasnya beda denganku, tapi konsernya sama, di JHCC. Ia akan membawakan lagu Symphony 40.
Aku mengambil piring, sendok dan garpu, lalu mengambil nasi, sup ayamnya (banyak), lalu sedikit kerupuk. Aku memakannya dengan lahap.

********************

Aku sudah selesai makan, sekarang aku berlatih lagi. Kan malu-maluin kalau misalnya dipanggung salah mencet tutsnya?


Monday, April 06, 2009

Rondo Ala Turca I

  Aku sibuk memainkan jari-jari tanganku di tuts piano. Lagu Rondo Ala Turca. Aku sedang ada di tempat les musikku, berlatih sambil menunggu guruku datang untuk mengambil nilaiku. Guru pianoku namanya Bu Rona, dia masih 23 tahun, masih tergolong muda menurutku.

  Oh ya, namaku Thea, lengkapnya Giska Althea. Aku lebih memilih dipanggil Thea daripada Giska. Lebih simple, ringkas lagi. Hobiku main piano sama balet. Tapi lebih suka piano, kalo balet cuma buat belajar aja. Aku juga suka nyanyi, melukis sama baca.

KRIEEETT!!

Pintu ruang kelas pianoku berbunyi. Bu Rona masuk. Aku segera bersiap-siap. Bu Rona mengambil buku musik seperti yang kupunya lalu membuka halaman lagu Rondo Ala Turca. Setelah dia menemukannya, ia langsung mengangguk. Aku mengambil nafas dalam-dalam, dan aku memainkan lagu itu sambil mencoba menghayatinya. Setelah selesai, aku langsung menatap Bu Rona. Beliau kelihatan menggut-manggut.

   "Bagus Thea. Coba latihan satu kali lagi ya! Kamu cuma salah dibagian sini," Kata Bu Rona sambil menunjukkan kesalahanku. Aku hanya mengangguk. Setelah Bu Rona keluar dan mengajar kelas sebelah (aku semi-privat), aku iseng-iseng keluar ruangan. Suara piano dari kelas yang sedang diajar Bu Rona sekarang mulai terdengar, berarti Bu Rona sudah mulai mengajar.

    Tiba-tiba, aku mendengar lantunan nada-nada biola. Aku mengenal lagu yang sedang dimainkan itu. Itu Rondo Ala Turca, PR musikku selama 2 minggu ini. Aku mencoba mengintip lewat kaca kecil di pintu ruangan itu. Tampak seorang anak laki-laki sedang menggesek biolanya, dan satu laki-laki dewasa. Laki-laki dewasa itu gurunya, namanya Kak Yasser.

    "Bagus Theo!" Kata Kak Yasser. Kok namanya hampir sama kayak aku? Aku Thea, anak itu Theo. Aku kembali mencoba mencuri dengar.

     "Kamu latihan lagu ini terus ya, nanti kalau memang bagus, kamu bakal duet sama anak kelas piano, namanya Thea," Kata Kak Yasser lagi. Lho, Thea kan aku! Anak kelas piano yang namanya Thea cuma aku! Aku langsung berlari ke kelasku. Dan ketika aku membuka pintu, Bu Rona keluar dari kelas sebelah.

     "Darimana Thea?" Tanyanya. Aku memikirkan kejadian yang tadi.

     "Toilet, Bu." Jawabku tenang.

Friday, April 03, 2009

Perpisahan Selamanya 4 (tamat)

   "Zilfa!" Teriakku pilu. Mama dan Papa langsung memelukku. Tante Fira lemas, lalu pingsan. Oom Ardian (Papa Zilfa, aku baru ingat namanya) tampak shock berat, terpukul.Maklum, Zilfa kan anak semata wayang.

    Air mataku mengalir deras. Meratapi kepergian sahabatku. Ketika Dokter sudah mempersilakan kami untuk melihat Zilfa untuk terakhir kalinya, aku dituntun oleh Papaku, karena kakiku masih gemetar hebat, sehingga agak susah berjalan.

    Aku masih benar-benar tidak percaya bahwa seseorang yang ditutupi kain putih didepanku adalah seorang Zilfa. Baru tadi ia tertawa bersamaku, baru tadi ia meminta dibuatkan blog, baru sebentar aku memegang tangannya... Sekarang dia telah pergi, Zilfa telah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa dalam usia yang sangat muda. 

*********************

    Aku mengelus batu nisan yang bertuliskan:

   Zilfa Annabila Putri, 4 Februari 1997-19 Agustus 2008

   Aku masih tidak percaya, bahwa Zilfa, Zilfa sahabatku, sahabatku yang selalu menemaniku dalam suka maupun duka, sudah menyatu dengan bumi yang kupijak saat ini. Mataku mulai terasa panas lagi. Setelah mengusap-usap nisan Zilfa beberapa kali, aku beranjak pergi. Ketika aku sudah berjalan beberapa langkah, ada angin menerpaku. Aku hanya memejamkan mata sebentar, lalu ketika aku membuka mata, aku melihat bayangan Zilfa.

   "Karin..." Katanya. Apa ini nyata?

   "Zilfa..?" Tanyanya. Ia tersenyum senang. Senyum khas Zilfa.

   "Karin... Aku cuma mau bilang, jangan sedih terus ya, waktu aku nggak ada! Oh ya, kamu nggak usah nepatin janji kamu yang waktu itu! OK?" Kata Zilfa.

    Aku tersenyum simpul. "OK!" Kataku. Zilfa tersenyum senang, lalu bayang-bayangnya mulai menghilang perlahan...

    Dadah, Zilfa! Aku nggak bakal pernah ngelupain kamu!

Monday, March 23, 2009

Perpisahan Selamanya 3

Aku, Mama dan Papa menunggu Zilfa di kamar Rawat-Inapnya, kamar nomor 172. Tadinya sih, rencananya aku diajak pergi ke kantor Papa, tapi karena aku merengek, ya sudah, kita akhirnya menunggu Zilfa yang akan operasi kedua kalinya.

Papa meminjamkan laptopnya untuk kita, kebetulan di RS ada hotspot, jadi kita bisa berhubungan dengan dunia maya. Aku menunjukkan multiply-ku, facebook-ku juga friendster-ku. Zilfa sudah agak pulih, jadi dia sudah lumayan kuat. Dia tertawa riang melihat comment-comment lucu dari teman-temanku yang lain.

"Mmmm... Karin?" Katanya. Aku menoleh.

"Ada apa Zil?"

"Mmmm... Nanti, kalau udah selesai operasi, kamu bisa nggak buatin aku friendster? Tapi nanti, kalo aku berhasil menjalanin operasi kali ini, kamu buatin aku ya? Kalo operasinya nggak berhasil... Ya udah, nggak usah.." Pintanya dengan wajah memelas. Aku memeluknya.

"Tenang Zilfa! Aku mau buatin kamu!" Kataku. Pintu kamar Zilfa terbuka. Seorang suster masuk.

"Ibu Fira, sudah waktunya," Katanya pada Mama Zilfa.

"Baik."

"Ayo Zilfa!" Kata Suster itu mendorong kasur Zilfa.

"Ah.. Suster, aku pake kursi roda aja ya..???" Pinta Zilfa.

"Baiklah. Kali ini saja! Oke?" Kata Suster. Zilfa mengacungkan 2 jempolnya. Aku hanya tersenyum melihat tingkah laku sahabatku itu.

Suster, Zilfa, Orang tua Zilfa berangkat ke ruang operasi duluan. Aku Mama dan Papa menyusul, karena harus membereskan laptop dahulu.

**********************

Zilfa sedang dioperasi. Dia ada didalam, diruangan operasi. Aku dan yang lainnya menunggu sambil harap-harap cemas. Sambil menunggu, aku berzikir dalam hati, berdoa semoga aku masih bisa melihat lesung pipi di wajah Zilfa.

Lama kemudian, pintu ruang operasi terbuka pelan. Dokter yang mengoperasi Zilfa keluar, dan menghampiri kami.

"Apakah anda semua anggota keluarga Zilfa?" Tanyanya. Tante Fira mengangguk pelan. Aku sudah menahan nafas.

"Maaf, Bu, kami semua sudah berusaha semampunya, tetapi..." Kata Dokter itu lagi. Aku tersentak kaget. Jadi...

"Operasinya tidak berhasil.." Sambung Dokter itu lagi. Aku langsung jatuh terduduk, dan gemetar hebat. Tangis Tante Fira pecah. Mama dan Papa meneteskan air mata. Air mata yang hangat jatuh menetes ke pipiku.

"Zilfa...!!!" Teriakku.

Bersambung.....

Maaf ya... masalah waktu!!!

MomoChan

Monday, March 16, 2009

Pencuri Kue 1

Aku Sylvia. Aku punya beberapa teman dekat, namanya Adrian, Revan dan Anggia. Awalnya, kami sama sekali tidak dekat. Tapi itu dulu, sebelum kami tahu bahwa kami sama-sama pecinta kue. Kami suka kue yang sama. Gateau Opera, Shortcake, Tiramisu, Eclair, hingga cookies-cookies imut nan renyah pun jadi kesukaan kami.

Suatu hari, Ayah Anggia pulang kerja dengan satu box SUPER besar bertuliskan "MAXIMUS Crowd de Cafe". Itu adalah cafe cake super enak. Kue-kue kesukaan kami yang enak-enak asalnya dari sana, MAXIMUS.
Anggia cerita, ternyata Ayah Anggia baru pulang dari presentasi saham dengan perusahaan besar yang terkenal. Perusahaan besar itu tertarik lalu bersedia membeli saham itu dengan harga tinggi. Sebagai peringatan keberhasilan itu, Oom Kafka (ayah Anggia) membeli satu box super guede berisi kue-kue yang tadi. Ia berniat membaginya pada kami.
Akhirnya, kami memutuskan akan mengadakan acara makan kue kecil-kecilan pada hari Jumat sore, yang jatuhnya besok. Acara itu akan diadakan di rumah Anggia.

* * * * *

Hari Jumat akhirnya tiba. Aku tidak sabar menunggu acara nanti sore.
Saat aku sedang mengisi waktu untuk menunggu, Revan menelponku.
"Hallo, ini Sylvia bukan?" tanya Revan di ujung telepon.
"Ya, ini Sylvia. Revan, ya? Ada apa?"
"Bisa nggak, kamu ke rumah Adrian sekarang?" suaranya terdengar panik, membuatku jadi bingung.
"Lho, kenapa?"
"Terlalu rbet untuk dijelaskan lewat telepon. Kalau bisa, cepat kamu kesini. Kami bertiga sudah ada didepan rumah Adrian," tukas Revan.
"Oh, baiklah,"
"Bagus. Kami tunggu," katanya. Lalu Revan memutuskan telepon. Aku segera berganti baju dengan overall jeans, lalu bergegas ke rumah Adrian.
Sesampainya disana, kulihat Anggia, Revan dan Adrian sudah berkumpul didepan rumah Adrian. Raut wajah mereka tampak gelisah. Aku jadi tambah bingung. Aku menghampiri mereka. Begitu melihatku, kulihat kelegaan menjalar dimuka Revan.
"Sylvia!" serunya.
"Ada apa, sih?" tanyaku bingung.
"Begini, ada sebuah insiden terjadi," kata Adrian.
"Insiden apa?"
"Kue-kue itu semuanya hilang. Tanpa berbekas," sahut Anggia lesu.
"Kue yang buat nanti sore itu?" tanyaku lagi. Kali ini aku panik. Anggia mengangguk.
"Lalu, kita harus gimana? Kan no cake no party!" kataku. Revan mengangguk setuju.
"Gak ada cara lain. Kita harus menyelidiki," kata Adrian. Aku saling pandang dengan anggia, lalu Revan.
"Oke," kataku. "Lets do it!"

Perpisahan Selamanya 2

"Hasil operasi anak Ibu..." Kata Dokter. Jantungku berdebar kencang. Zilfa...!!!
"Alhamdulillah berjalan dengan lancar, Bu," Sambung Dokter itu. Tante Fira jatuh terduduk sambil menangis haru. Aku langsung sujud syukur dan menangis. Zilfa... Kita masih bisa bicara!
"Tetapi, minggu depan ia harus operasi lagi," Sela Dokter. Aku yang sedang berlutut menangis haru berhenti bergerak. Apa? Operasi lagi?
"Kenapa?" Tanyaku.
"Masih ada yang belum selesai," Jawab Dokter pendek.
"Ibu, mari ikut saya," Sela Dokter lagi, mengajak Tante Fira dan Papanya Zilfa ke suatu ruangan. Aku jatuh terduduk. Kakiku gemetar dan lemas.
"Yuk, Rin, kita pulang." Ajak Ibu. Aku mengangguk pasrah.

*****************************************************

Satu minggu sudah berlalu. Aku sedang berada di kamar rawat-inap Zilfa di RS. Operasi Zilfa akan dimulai 15 menit lagi, dan aku akan menunggu bersama Zilfa. Karena bisa saja ini saat-saat terakhir Zilfa kan?

Tuesday, February 03, 2009

Di Balik Tirai Biru Laut II

    Ayu Vidya... Nama yang tertera di amplop putih itu terus singgah dipikiranku. Siapa dia? Suratnya belum kubaca, karena entah kenapa (jujur saja), ada rasa takut. 

    Aku sedang duduk termangu di bangku taman sambil memegang surat dari 'Ayu Vidya' yang membuatku agak takut ketika seorang anak perempuan menghampiriku.

     "Hai Dikta!" Katanya. Hei! Tampangnya terlihat familiar.

     "Kamu siapa?" Tanyaku bingung. Dia tampak bingung.

     "Kamu belum baca surat dariku?" Tanyanya balik. Ya ampun...! Ternyata dialah Ayu Vidya! Aku menggeleng.

      "Lalu, kenapa kamu bisa ada disini?" Tanyanya lagi. Aku tambah bingung.

      "Aku? Disini? Aku.. cuma istirahat habis jalan-jalan." Jawabku terbata. 

      "Kamu belum kenal aku?" Tanyanya lagi. Aku merasa bagaikan tersangka yang di bombardir pertanyaan oleh polisi.

      "Kamu... Ayu Vidya?" Balasku.

      "Ya, dan aku adalah 'sosok misterius' yang suka mengintip kamu dari jendela kamarku yang bertirai biru laut!" Sahutnya riang. Haah..? Ternyata dialah gadis misteriusku!

      "Hmmm... Aku ingin tanya... Kenapa kamu suka ngintipin kamarku?" Tanyaku heran.

      "Karena aku sangat ingin sekali mendalami karakter dan sifatmu sebelum aku menjadikan kamu sahabat aku yang pertama disini!" Jawabnya mantap.

       "Buka aja suratnya!" 

Dear Dikta

Hai, aku Ayu Vidya, tetanggamu yang baru. Aku ingin menjadikan kamu sahabat pertamaku disini. Aku masih orang baru, jadi aku belum tahu apa-apa. Maaf jika membuatmu curiga, karena aku suka mengintipmu dari jendela kamarku. Aku ingin mendalami karakter dan sifatmu dulu, baru aku berteman dengan kamu. 

                                                                                       Sudah, ya, Salam,

                                                                                              Ayu Vidya

Sunday, January 25, 2009

Di balik Tirai Biru Laut I

Ya ampun, anak perempuan itu mengintip lagi! Dia suka sekali mengintip kesini! Apa dia suka aku, ya? Eh, aku GR banget sih! Oh ya, aku belum mengenalkan diri. Namaku Dikta, sama kayak salah satu personil band Yovie n Nuno, tapi nggak ada hubungannya sama sekali. Di lingkungan sekolah maupun rumah, aku termasuk cowok populer. Badanku tinggi, selalu masuk ranking 3 besar. Dan selalu menjadi idola teman-temanku, mau yang cewek ataupun cowok. Bahkan di tempat lesku, semua anak disana ingin menjadi sahabatku.
1 Minggu yang lalu, satu keluarga pindah ke rumah kosong tepat disebelah rumahku. Keluarga dengan 1 anak perempuan yang belum kutahu namanya. Sepertinya dia sebaya denganku. Anak itulah yang merasuk pikiranku akhir-akhir ini. Bukannya aku suka dia, tetapi aku penasaran, dia sangat suka mengintip ke rumahku dari (mungkin) kamarnya yang bertirai biru laut. Entah apa maksudnya aku tidak tahu.
*******
Suatu hari, saat pulang sekolah, aku mengintip kotak posku. Itu kebiasaanku dari kelas tiga SD. Aku melihat 1 kartu pos dan beberapa amplop bank. Aku mengambilnya. Kartu pos itu dari Tante Dona dan Oom Anas yang sedang ada di Malaysia. Amplop bank-bank itu ditujukan kepada Papa dan Mama. Dan... Kulihat ada sebuah amplop putih yang ditujukan kepadaku. Nama pengirimnya Ayu Vidya. Siapa dia?

Monday, January 19, 2009

Perpisahan Selamanya 1

   DEGH! DEGH! DEGH!
    Suara jantungku berdetak kencang menunggu hasil operasi sahabatku, Zilfa. Beberapa bulan yang lalu, ia divonis dokter, bahwa dia telah terkena kanker. Dan akhir-akhir ini Zilfa sering mengeluh dadanya sakit. Dan semalam adalah puncaknya. Semalam, dia sesak nafas dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Tante Fira, mamanya Zilfa, memberi tahu mama pagi ini via telepon. Ketika mendengar berita itu dari mama, aku kaget dan tanpa tedeng aling-aling aku langsung mengajak mama ke RS.
     "Zilfa... Zilfa..." Gumamku sambil berdoa dalam hati. Tanganku mengepal dan tubuhku bergetar. Mama melihatku yang sedang berdzikir--berharap masa kritis cepat berakhir--menghampiriku dan menepuk pundakku.
     "Rin..." kata Mama. Aku menoleh.
     "Jangan terlalu tegang, percayalah, Zilfa akan baik-baik saja..." Lanjut Mama. Mataku terasa panas. Aku langsung memeluk Mama erat. Aku merasakan sesuatu yang hangat mengalir dipipiku. Bertepatan dengan itu, seseorang berjas putih--dokter Zilfa--menghampiri kami semua. 
     "Ibu Fira?" kata Dokter.
     "Ya!" Jawab Tante.
     "Hasil operasi anak Ibu..."
   Gimana...? Bagus nggak..? Tunggu lanjutannya ya...!
   Masalah waktu nih...!
by Moureta (Momochan)
    

Thursday, January 15, 2009

akhirnya......

haaaahhh.....

akhirnya.....

jadi juga.....

blog khusus buat menampung imajinasi yg mengalir deras.... (ciee, keren bgt kata2 gw)

tapi yg d multiply ttp jalan kok......

oke...

LETS GO THEN!!!!